Kedatangan seorang teman yang bercerita tentang mantan kolega sekantor langsung membuka luka lama.
Sekitar 6 bulan yang lalu kantor saya mendadak gempar. Banyak yang menangis. Gara-garanya adalah “berita duka” yang disampaikan oleh salah seorang kolega, si A, yang datang dengan wajah sedih bercucuran air mata. Konon ia baru saja kembali dari RS Siloam Karawaci dan dokter mendiagnosanya dengan kanker tulang stadium lanjut. Diagnosa ini ditegakkan setelah melalui pemeriksaan MRI, PET scan dan biopsi jaringan. Saya yang saat itu sedang meeting di kantor client sangat kaget ketiga mendapat kabar ini dari Nia dan langsung meluncur pulang ke kantor. Dalam kilas balik, saya jadi ingat apa yang disampaikan Nia dalam pesan whatsapp-nya: “mbak, si A didiagnosa kanker, dan kayaknya kali ini beneran.” Ya, Nia dengan jelas mengatakan “kayaknya kali ini benar” karena si A ini punya sejarah berbohong berkali-kali. Dalam perjalanan kembali ke kantor saya sempat menelpon si A dan ia langsung menangis dengan keras ketika mendengar suara saya. “Bagaimana anak saya,” katanya sambil tersedu-sedu. Saat itu saya benar-benar merasa sangat sedih dan terpukul.
Setiba di kantor saya langsung memanggil si A ke ruangan saya untuk mendapat cerita yang utuh tentang penyakitnya. Sebelum bercerita, ia lama menangis dengan menyebut-nyebut nama anaknya. Saya pun ikut menangis sambil memeluknya. Saya ingatkan agar ia tidak perlu memikirkan biaya pengobatan karena semuanya akan ditanggung oleh kantor, ia hanya perlu fokus pada pengobatan dan mencari alternatif terbaik. Saya tambahkan, kalau kantor tidak bisa membayar, saya akan membayarnya dari kantong saya sendiri. Saya hanya minta ia untuk serius mencari pengobatan dan berjuang untuk sembuh.
Setelah agak lelah menangis, ia mulai menceritakan apa yang terjadi. Dimulai dari kunjungannya ke dokter untuk memeriksakan daging tumbuh di punggungnya. Daging ini sudah bercokol cukup lama, lebih dari 5 tahun, dan ia tidak berani mengangkatnya. Pagi ini ia ke dokter dan ternyata didiagnosa dengan kanker tulang (osteosarcoma) stadium lanjut. Saya tanya apakah ia membawa hasil pemeriksaan lab (MRI, PET scan dan biopsi) karena latar belakang saya sebagai dokter gigi membuat saya agak paham dengan istilah-istilah medis. Selain itu, 4 tahun lalu salah seorang teman terkena kanker payudara stadium 3b dan saya yang mendampinginya sejak pemeriksaan pertama hingga operasi mastektomi di Singapore.
Dalam kilas balik saya agak heran dengan penjelasan ini. Setahu saya, pemeriksaan MRI, PET scan dan biopsi itu dilaksanakan secara berurutan, one after the other. Selain itu, untuk biopsi memerlukan lebih dari satu hari untuk memperoleh hasilnya. Bagaimana mungkin tadi pagi ia ke dokter. langsung melakukan ketiga pemeriksaan, dan langsung mendapat diagnosaya.
Ia ternyata tidak bisa memberikan dokumen medis yang saya minta dengan alasan bahwa semuanya ditahan oleh dokternya untuk dipelajari. Terasa sangat janggal karena semua pasien memiliki hak untuk mengakses rekam medisnya, apalagi kanker adalah penyakit serius yang seringkali memerlukan second opinion. Tapi, mengingat situasi yang tidak tepat, melihat ia tampak terpukul maka saya pun memberikan the benefit of the doubt.
Sebagai lanjutan dari diagnosa hari itu, si A harus menjalani radiasi selama 8 kali berturut-turut. Seseorang yang didiagnosa dengan kanker tidak akan berani main-main dengan pengobatan, sementara si A hanya 1 kali meninggalkan kantor untuk radiasi. Kalau diingatkan selalu dijawab dengan “ada kerjaan client yang tidak bisa ditinggal”. Aneh sekali. Dari literatur yang saya baca, kanker tulang itu termasuk kasus relatif langka dan butuh perawatan serius. Selain itu, setelah menjalani terapi radiasi, si A tidak memperlihatkan gejala-gejala tidak nyaman yang biasa dialami pasien pada umumnya. Ia juga masih merokok, masih beraktifitas seperti biasa, tidak tampak sama sekali bahwa ia menderita kanker.
Akhirnya saya memutuskan untuk merumahkan si A agar ia bisa fokus menjalani pengobatan. Saya tidak mau penyakitnya semakin parah hanya gara-gara sibuk mengurusi pekerjaan. Saya katakan padanya bahwa kesembuhan adalah prioritas nomor 1. Karena ia tidak masuk kantor selama sebulan dan tetap menerima semua fasilitas dan gaji secara utuh, saya memerlukan surat keterangan dari rumah sakit mengenai penyakitnya. Berkali-kali diminta tapi ia tetap tidak memberikan. Pada saat itu keraguan saya terhadap kisah kanker ini sudah semakin besar. Selama ia di rumah, ia sempat berkomunikasi dengan beberapa teman di kantor dan mengatakan bahwa kankernya sekarang sudah berubah dari osteosarcoma menjadi fibrosarcoma. Bingung saya, kanker kok bisa berubah, padahal sudah melewati pemeriksaan MRI, PET scan dan biopsi.
Karena terus didesak, akhirnya pada suatu hari ia minta Suci, Finance Manager, untuk menemuinya di MRCCC Siloam Semanggi karena ia akan menjalani pemeriksaan MRI dan PET scan. Di sana ia akan menyerahkan surat keterangan dari rumah sakit. Saya bingung, baru kurang dari 1 bulan yang lalu ia datang menangis ke kantor dengan diagnosa osteosarcoma yang konon ditegakkan dari hasil pemeriksaan MRI dan PET scan (yang tidak pernah saya lihat hasilnya), kok sekarang dilakukan pemeriksaan yang sama lagi? Ketika Suci tiba di MRCCC ternyata si A sedang menjalani pemeriksaan MRI di lantai 2 sehingga Suci hanya bisa ketemu dengan ibu dan istrinya si A. Kedua orang ini tidak mengetahui soal surat dokter/rekam medis yang dijanjikan si A. Dan ibunya si A mengatakan bahwa ini adalah MRI pertama, belum pernah ada MRI atau PET scan maupun biopsi sebelumnya.
Setelah genap 1 bulan berstatus dirumahkan, saya panggil si A ke kantor untuk membicarakan langkah selanjutnya. Ia datang sambil membawa resume rekam medis yang saya minta. Secara sekilas tidak ada yang salah: tanggalnya benar, diagnosanya benar, nama pasien benar. Tapi kenapa alamat di kop surat itu adalah MRCCC Silom Semanggi sementara waktu ia datang menangis ke kantor ia mengatakan bahwa ia baru saja menjalani pemeriksaan di rumah sakit Silom Karawai.
Pada saat itu pula lah karirnya di kantor saya langsung berhenti.
Leave a Reply