Hari ini topik tes keperawanan muncul lagi karena diangkat oleh Andreas Harsono yang menjadi pembicara tamu di FH Mind Snack edisi perdana. Merinding sekaligus marah mendengar penuturan Andreas bahwa praktek pemeriksaan keperawanan masih terus terjadi, tidak hanya terhadap perempuan yang ingin menjadi polwan tetapi juga perempuan yang ingin menikah dengan anggota tentara.
Jakarta Post mengangkat masalah ini dan mengutip pernyataan polisi bahwa tes keperawanan itu merupakan ukuran moralitas seseorang (baca: perempuan). Nonsense! Tidak ada bukti ilmiah sama sekali yang bisa menghubungkan keperawanan dengan moral seseorang. Yang satu adalah benda, dapat terlihat secara fisik dan teraba (selaput dara). Yang satunya lagi adalah sesuatu yang tidak berbau, tidak teraba dan tidak ada wujudnya (moral).
Human Right Watch mewawancarai beberapa anggota Polwan dan mantan Polwan mengenai tes ini. ‘Pemeriksaan dua jari” dilakukan untuk melihat apakah selaput dara masih utuh. Memang tidak semua yang selaput daranya tidak utuh akan ditolak, tetapi mereka semua mengatakan bahwa mereka merasa trauma dan didiskriminasikan.
Majalah TIME dua tahun lalu sempat mengangkat masalah tes keperawanan sebagai syarat untuk masuk SMA di Prabumulih, Sumatera Selatan. Karena banyaknya protes akhirnya peraturan ini dicabut. Kepala sekolahnya beralasan bahwa peraturan tersebut dibuat untuk membantu orang tua melindungi anak-anaknya dari pergaulan bebas dan perdagangan manusia. Di mana logikanya ya? Menurut TIME, adalah sebuah ironi menerapkan persyaratan keperawanan untuk menjaga moral sementara penyanyi dangdut yang bergoyang sangat seronok terus ditanggap di berbagai perhelatan, pun yang melibatkan para penjaga moral.
Leave a Reply